HUKUM DAN PERIKATAN PERJANJIAN
1. PENGERTIAN DAN SYARAT SYARAT SAHNYA
PERJANJIAN
Pengertian
perikatan adalah “ suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum;
sehubungan dengan itu, seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan
dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap pihak lain”
(Zaeni Asyhadie, 2008:22).
Sri
Soedewi Masjehoen Sofwan menyebutkan bahwa perjanjian itu adalah “suatu
peruatan hukum dimana seorarng atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seorang
lain atau lebih”. Sementara perjanjian menurut rumusan pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, didefinisikan sebagai:“suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”
(Subekti, 2003: 338).
Kata
persetujuan berasal dari kata setuju yang artunya : sepakat, mufakat,
sependapat (tidak bertentangan, tidak berselisih) kedua belah pihak sudah
setuju. Sedangkan perjanjian adalah pernyataan setuju (antara dua belah pihak)
atau suatu perjanjian yang sudah di sepakati, persesuaian, kecocokan dan
selaras. Hal ini jika di kaitak dengan hukum perjanjian maka kata persetujuan
akan terasa lebih sesuai atau tepat digunakan sebagai terjemah dari teostemming.
Syarat
sahnya suatu perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata terdapat empat hal
(Subekti, 2003: 330), yaitu :
1. Kata
sepakat
Pada
dasarnya kata sepakat adalah pertemuan
atau sesuainya kehendak antara para pihak didalam perjanjian yang terkait.
Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (Toestemming)
jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Suatu perjanjian dapat
mengandung cacat hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi
hal-hal berikut : paksaan dan penipuan
2. Kecakapan
untuk mengadakan perikatan
Berdasarkan
pasal 1329 KUHperdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap.dalam hal ini
setiap orang memiliki kecakapan dalam melakukan perjanjian atau perikatan.
Namun pada pasal 1330 nenyatakan jika terdapat beberapa orang yang tidak dapat
untuk membuat kecakapan perjanjian. Contoh terkait hal tersebut yaitu : orang
yang belum dewasa, dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (gila, dungu,
mata gelap dan lemah akal).
3. Suatu
hal tertentu
Pasal
1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu
benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya, zaak dalam bahasa Belanda memiliki arti suatu persoalan. Suatu perjanjian
haruslah mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), yakni hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
KUHPerdata
menentukan bahwa suatu hal yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti
dapat dihitung atau ditentukan. Misalnya mengenai perjanjian “panen tembakau
dari suatu ladang dalam tahun berikutnya”adalah sah. Perjanjian jual beli “teh
untuk seribu rupiah” tanpa penjelasan lebih lanjut, harus dianggap tidak cukup
jelas.
4. Suatu
sebab yang halal
Makna
dari syarat tersebut adalah adanya perjanjian yang dilakukan sesuai dengan
norma yang ada atau tidak bertentangan dengan hukum. Apabila perjanjian yang
disepakati tidak sesuai norma yakni memiliki dampak negatif bagi salah satu
pihak, maka perjanjian tersebut menjadi tidak halal atau ilegal.
2.2. Macam-Macam
Perjanjian
Perjanjian adalah
kesepakatan antara dua orang atau lebih mengenai usahanya yang sedang
dijalankan. Macam-macam perjanjian
antara lain :
1)
Perjanjian Timbal Balik
perjanjian timbal balik adalah perjanjian dimaksudkan timbale
balik antara kedua belah pihak.
2)
Perjanjian Cuma – Cuma
perjanjian dimana satu pihak mendapatkan keuntungan tanpa
memberikan manfaat dalam dirinya.
3)
Perjanjian Atas Beban
perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu
terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada
hubungannya menurut hukum.
4)
Perjanjian Bernama ( Benoemd )
perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah
bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk
undang-undang.
5)
Perjanjian Tidak Bernama ( Onbenoemde Overeenkomst )
perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata,
tetapi terdapat di dalam masyarakat.
6)
Perjanjian Obligator
perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.
2.3.
Syarat Sah Perjanjian
Menurut
Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi
empat syarat yaitu :
a)
Sepakat untuk mengikatkan diri. Maksudnya perjanjian ini harus
sepakat antara kedua belah pihak dan harus setuju mengenai perjanjian tersebut
dan tidak mempunyai pengaruh pada pihak ketiga.
b)
Kecakapan untuk membuat
suatu perjanjian. Maksudnya kecakapan disini adalah membuat perjanjian dalam
mengadakan suatu hubungan kontrak kerja atau yang berdasarkan perjanjian hukum.
c)
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini
diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan.
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
d)
Sebab yang halal ialah tujuan antara dua belah pihak yang
mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang
tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata
susila atau ketertiban.
2.4.
Pembatalan
& Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pembatalan
dan pelaksanaan suatu perjanjian biasanya dilakukan oleh kedua belah pihak. Ada
faktor yang mempengruhi pembatalan dan pelaksanaan suatu perjanjian antara lain
:
·
Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki
dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
·
Pihak kedua mengalami kebangrutan atau tidak lagi memiliki secara
financial
·
Terlibat suatu hukum atau orang tersebut mempunyai masalah pada
pengadilan
·
Tidak lagi memiliki wewenang dalam melaksanakan perjanjian.
2.5.
Perbuatan Melawan Hukum dan Keadaan
Force Majeur
1.
Perbuatan
Melawan Hukum
Perbuatan
melawan hukum merupakan tindakan yang dilakukan oleh pihak dengan melanggar
batasan yang sebenarnya ia mengetahui bahwa yang demikian ialah salah. Sebagai
contoh, seorang asisten manajer yang membuat anggaran proyek melebihi dari
jumlah anggaran yang diminta oleh staf di bawahnya. Dana tersebut selebihnya
dilimpahkan atas persetujuan manajer.
Sebagai
landasan hukum menyangkut perbuatan meawan hukum adalah Pasal 1365 KUH Perdata,
yang berbunyi: “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian untuk
mengganti kerugian tersebut.” PMH tidak hanya bertentangan dengan
undang-undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang
lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat
bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan
kepatutan dalam lalu lintas masyarakat.
Pengertian
perbuatan melawan hukum secara perdata adalah suatu perbuatan atau tidak berbuat
sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya
ada sesuatu hubungan hukum, dimana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik
merupakan perbuatan biasa maupun bias juga merupakan suatu kecelakaan. Tidak
memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana di tunjukan
terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya
tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi. Suatu kesalahan perdata (civil
wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut bukan merupakan suatu
wanprestasi tcrhadap suatu kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust,
ataupun prestasi terhadap kewajiban lainnya.
Suatu
perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum
melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti
rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan. Suatu kerugian yang tidak
disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih tepatnya, merupakan
suatu perbuatan yang merugtkan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum
yang tidak terbit dan hubungan kontraktual. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, suatu perbuatan melawan hukum
harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Ada suatu perbuatan, perbuatan itu melawan hukum, ada kesalahan pelaku,
ada kerugian bagi korban, ada hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Hukum di Indonesia mengatur tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan karena salahnya menerbitkan kerugian itu
untuk mengganti kerugian. Intinya, apabila ada seorang yang melakukan perbuatan
melawan hukum (PMH) maka diwajibkan untuk memberikan ganti kerugian. Sisi yang
lain, orang yang mengalami kerugian tersebut dijamin haknya oleh Undang-Undang
untuk menuntut ganti rugi.
Pasal 1365
KUHPerdata menentukan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang membawa
kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan
kerugian ini mengganti kerugian
tersebut. Sebagai pedoman dapat digunakan ketentuan pasal 1247 dan
1248 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa pembayaran ganti rugi hanya
diberikan atas kerugian yang sudah diduga dan merupakan akibat langsung dari
tidak terpenuhinya perikatan. Dengan demikian persoalannya adalah apakah
kerugian atas kehilangan keuntungan yang diharapkan sudah dapat diduga oleh
tergugat dan hal tersebut merupakan akibat langsung karena tidak dipenuhinya
perikatan.
2.
Ada
4 unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH):
a.
Adanya
Perbuatan Melawan Hukum
Dikatakan
PMH, tidak hanya hal yang bertentangan dengan UU, tetapi juga jika berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang memenuhi
salah satu unsur berikut:
– Berbertentangan dengan hak orang
lain;
– Bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri;
– Bertentangan dengan kesusilaan;
– Bertentangan dengan keharusan
(kehati-hatian, kepantasan, kepatutan)
yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
b.
Adanya
unsur kesalahan
Unsur kesalahan dalam hal ini
dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada si pelaku.
c.
Adanya kerugian
Yaitu kerugian yang timbul karena PMH.
Tiap PMH tidak hanya dapat mengakibatkan kerugian uang saja, tetapi juga dapat
menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan
kehilangan kesenangan hidup.
d.
Adanya
hubungan sebab akibat
Unsur sebab-akibat dimaksudkan untuk
meneliti adalah hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian
yang ditimbulkan sehingga si pelaku
dapat dipertanggungjawabkan.
3.
Force
Majeur
Keadaan memaksa atau overmacht atau
force majeure adalah suatu keadaan di luar kendali manusia yang terjadi setelah
diadakannya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya
kepada kreditur. Sebagai contoh, Dinda memiliki pinjaman kepada Budi. Suatu
ketika, Budi membutuhkan uang yang dipinjam oleh Dinda. Lalu ketika pertemuan
diatur unurk pengembalian pinjaman, rupanya di tengah perjalanan ada demo
besar-besaran di pusat kota, sehingga Dinda tidak dpat datang tepat waktu. Dengan demikian jelaslah bahwa atas dasar keadaan memaksa ini, debitur
tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko.
Keadaan memaksa diatur dalam pasal 1244
dan 1245 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut :
·
Pasal 1244 KUH Perdata : "Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum
mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal
tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu,
disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan
padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya".
·
Pasal 1245 KUH Perdata : "Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila
lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja di berutang
beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran
hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang dilarang".
Jadi, berdasarkan pasal 1244 dan pasal 1245 KUH Perdata, apabila debitur
dapat membuktikan dirinya dalam keadaan overmacht tersebut, maka di pengadilan
gugatan pihak kreditur dapat ditolak dan bahkan tidak dapat dikabulkan ganti
rugi, biaya, dan bunga. Dengan perkataan lain keadaan memaksa (overmacht)
menghentikan berlakunya suatu perjanjian dan menimbulkan berbagai akibat, yaitu
:
1. Kreditur tidak lagi dapat meminta
pemenuhan prestasi.
2. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai,
dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi.
3. Resiko tidak beralih kepada debitur.
Pengertian keadaan memaksa (overmacht) dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1.
Keadaan memaksa (overmacht) yang absolut (mutlak), dalam arti bahwa dalam
perjanjian tidak mungkin lagi debitur melaksanakan perjanjian tersebut.
2.
Keadaan memaksa (overmacht) yang relatif (tidak mutlak), dalam arti bahwa
dalam perjanjian tersebut masih mungkin bagi pihak debitur untuk melaksanakan
perjanjian tersebut.
Suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai keadaan memaksa, apabila memenuhi unsur-unsur keadaan memaksa, yaitu :
1.
Keadaan yang menimbulkan keadaan memaksa tersebut harus terjadi setelah
dibuatnya perjanjian.
2.
Keadaan yang menghalangi pemenuhan prestasi harus mengenai prestasinya
sendiri.
3.
Debitur tidak harus menanggung resiko, artinya debitur baik berdasarkan
undang-undang, perjanjian, atau menurut pandangan yang berlaku di masyarakat
tidak harus menanggung resiko.
4.
Peristiwa yang terjadi yang menghalangi pemenuhan prestasi tersebut di luar
kendali debitur.
diskusi dalam kelas
11. Qusiati Utami (160321100028)
“Berikan penjelasan dan contoh dari setiap syarat sahnya
perjanjian!”
Jawab:
a. Kata sepakat
Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau
sesuainya kehendak antara para pihak didalam perjanjian yang terkait. Seseorang
dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (Toestemming) jika
ia memang menghendaki apa yang disepakati. Suatu perjanjian dapat mengandung cacat
hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal berikut :
paksaan dan penipuan. Contoh: penandatanganan kontrak dari kedua-belah pihak
yang bersangkutan.
b. Kecakapan untuk mengadakan perikatan
Berdasarkan pasal 1329 KUHperdata menyatakan bahwa setiap
orang adalah cakap.dalam hal ini setiap orang memiliki kecakapan dalam
melakukan perjanjian atau perikatan. Namun pada pasal 1330 nenyatakan jika
terdapat beberapa orang yang tidak dapat untuk membuat kecakapan perjanjian.
Contoh terkait hal tersebut yaitu : orang yang belum dewasa, dan mereka yang
ditaruh di bawah pengampuan (gila, dungu, mata gelap dan lemah akal).
c. Suatu hal tertentu
Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian
harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat
ditentukan jenisnya, zaak dalam bahasa Belanda memiliki
arti suatu persoalan. Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu
hal tertentu (centainty of terms), yakni hak dan kewajiban kedua belah
pihak.
KUHPerdata menentukan bahwa suatu hal yang dimaksud tidak
harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan. Misalnya
mengenai perjanjian “panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun
berikutnya”adalah sah. Perjanjian jual beli “teh untuk seribu rupiah” tanpa
penjelasan lebih lanjut, harus dianggap tidak cukup jelas.
d. Suatu sebab yang halal
Makna dari syarat tersebut adalah adanya perjanjian yang
dilakukan sesuai dengan norma yang ada atau tidak bertentangan dengan hukum.
Apabila perjanjian yang disepakati tidak sesuai norma yakni memiliki dampak
negatif bagi salah satu pihak, maka perjanjian tersebut menjadi tidak halal
atau ilegal. Contoh sebab yang halal yaitu: kesepakatan mendirikan
koperasi desa apabila hasil penjualan tahun ini meningkat sebesar 20%.
2. Safira Widyasmita (160321100036)
“ Bagaimana keabsahan pernikahan yang terpaksa?”
Jawab: pernikahan dan perjanjian memiliki aspek keabsahan
yang berbeda, sehingga persyaratan sahnyapun berbeda.
3. Vika Ayu Tri Wardani (160321100054)
“ apa yang dimaksud dengan perjanjian percuma? Apabila suatu
kondisi ketika A ingin meminjam barang pada B, dan teah membuat kesepakatan
tentang hal tersebut, namun suatu saat A membatalkan untuk meminjam barang
tersebut? Lalu apakah masih bisa disebut sebagai dengan perjanjian percuma?”
Jawab: perjanjian percuma terjadi dimana satu
pihak mendapatkan keuntungan tanpa memberikan manfaat dalam dirinya. Pada kasus
tersebut, tidak ada pihak yang diuntungkan, sehingga tidak dapat dikatakan
sebagai perjanjian percuma, melainkan pembatalan sepihak sebuah kesepakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar Silondae,Arus dan
Andi Fariana F. Aspek Hukum Dalam Ekonomi dan Bisnis. Mitra Wacana
Media. Jakarta. 2013.
Fockema Andreae. Kamus Istilah
Hukum. Belanda-Indonesia Binacipta 1977.
Hapsari, Dwi Ratna Indri.
2014. Kontrak Dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam
terhadap Suatu Kajian dalam Perspektif Asas - Asas Hukum. Jurnal Repertorium,
ISSN:2335-2646, Edisi I Januari - Juni 2014.
Kansil. Hukum
Perusahaan Indonesia Bagian 2. PT. Pradya Paramita. Jakarta. 2005.
Kartika Sari, Elsi. Hukum
Dalam Ekonomi Edisi Revisi. Grasindo. Jakarta. 2005.
Yessica,
Evalina. 2014. Karakteristik dan Kaitan
antara Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi. Jurnal Repertorium Vol. 1
Nomor 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar